Kehidupan Tanpa Rutinitas

Tulisan akhir tahun 2022 yang menggambarkan kacaunya pikiran saya

Siswa Bodoh
3 min readDec 21, 2023

Menurut saya, salah satu bahan diskusi yang jika diulik-ulik lebih dalam tidak akan pernah ketemu jawabannya adalah : Apakah kita perlu membanding-bandingkan sesuatu (umumnya dalam konteks pencapaian) dalam hidup?

Jika jawabannya mutlak iya, maka biasanya kita akan digiring oleh orang-orang yang “fokus dengan pencapaianmu sendiri!!" untuk tidak terlalu memikirkan pencapaian orang lain.

Dan jika jawabannya mutlak tidak, maka argumentasinya pasti sangat lemah, khususnya dalam diskursus matematika dan filsafat. Karena suatu nilai butuh variabel pembanding untuk menunjukkan eksistensi atas nilai tersebut.

Misalkan saya adalah orang yang mutlak tidak pernah membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain. Ketika saya menetapkan suatu mimpi, maka sesungguhnya saya sudah menelaah dan memproses data historikal orang lain.

Sehingga menurut saya hidup tanpa membanding-bandingkan adalah suatu anomali, tidak ada suatu pencapaian tanpa pembanding atau perhitungan lebih dulu.

Lalu bagaimana jika seperti ini? Boleh membanding-bandingkan, asalkan jangan berlebihan, harus dalam porsi yang tepat.

Bagi saya itu bisa jadi suatu bahasan menarik, bisa juga tidak menarik. Menarik karena titik awal dari setiap orang berbeda-beda. Tidak menarik karena “Hidup itu harus seimbang" adalah kesimpulan absolut yang antiklimaks.

Jadi bagaimana? Ya bodo amat haha. Tulisan di atas hanya sedikit pengantar bahwa dalam hidup ini kita tidak bisa lepas dari membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Juga pengantar tulisan setelahnya tentang kehidupan tanpa rutinitas saya, yang akan saya bandingkan dengan kawan-kawan seusia saya.

Saya bukan orang yang suka mendiagnosa mental saya sendiri. Mengklaim bahwa saya terkena penyakit mental dan membenarkan segala cara untuk menghilang, menjudge seseorang, atau menjadikan alasan utama kenapa saya lulusnya bisa telat.

Malas, indisipliner, tidak suka menepati janji, menurut saya hal-hal tersebut lebih bisa dibenarkan sebagai alasan untuk menjudge saya.

Kenapa saya lulusnya telat? Apakah topik TA yang terlalu berat? Dosbing yang tidak suportif? Atau ada mimpi yang perlu dikejar di organisasi?

Jawaban paling tepat adalah karena malas. Karena sering begadang, bermain mobile legend setiap hari, dan akumulasi dari segala aktifitas selama 4 tahun yang membuat saya merasa lebih bodoh dalam menata diri, termasuk dalam ranah akademik.

Akibat terparah dari semua itu adalah : Kehidupan tanpa rutinitas. Kehidupan 7 × 24 jam di depan layar HP, tak ada tujuan, dan tak ada sesuatu yang dihasilkan. Kualitas ibadah turun, pola makan rusak, tidur tidak teratur, jarang olahraga, dan segala kebiasaan buruk yang sangat akut, melekat di dalam diri saya.

Jika ada judgement radikal dari orang-orang yang suka memaksa orang lain untuk bersyukur, yang biasanya disampaikan kepada orang-orang yang belum lulus kepada orang yang sudah lulus, dari orang yang belum kerja kepada orang yang sudah kerja, atau dari orang yang bergaji kecil kepada orang yang sudah UMR. Maka bisa jadi kalau saya orangnya tempramen, akan saya ucapkan secara kasar, “Heh bersyukur … bla, bla, bla". Yaa meskipun tidak akan mengubah apa-apa juga.

Rasa insecure mungkin memang menghantui diri saya. Pernah suatu malam saya berjam-jam menonton live facebook orang bermain slot, mencari tutorial pinjol, atau mencari cara ternak uang di tempat illegal. Pernah sempat juga berfikir untuk berhenti kuliah, transfer SKS ke kampus lain, atau menjadi stand-up comedian.

Jika dipikir-pikir kembali, gila, lucu juga ya saya bisa sampai sebegitunya. Alhamdulillah tulisannya tidak dilanjutkan, sudah berdamai juga. Setidaknya setelah melalui kondisi tersebut, saya bisa memahami dan berempati terhadap fenomena kawan-kawan seusia saya. Semangat ges, apapun masalah kalian, kuncinya jangan ngilang yak!

Terakhir, terima kasih buat kawan-kawan Dajok, Panti Az-Zaini, dan kawan-kawan Asrama Salman yang sudah merangkul saya di masa-masa tersebut ❤❤❤.

--

--